Dosen Teknik Elektro USM Perkenalkan Teknologi AI Mendeteksi Stroke Dalam Waktu Singkat
KUALA LUMPUR, (Harianterkini.id) – Dosen Teknik Elektro Universitas Semarang (USM), Dr. Ir. Andi Kurniawan Nugroho, S.T., M.T., IPM, memperkenalkan teknologi AI dalam mendeteksi stroke dalam waktu singkat di The International Conference on Artificial Intelligence and Its Applications (ICON-AI 2025), Universiti Teknologi Malaysia pada tanggal, 12 Hingga 13 November 2025.
Hasil penelitiannya itu mencuri perhatian dari beberapa negara. Bukan karena sorotan media, bukan pula karena anggaran riset miliaran rupiah melainkan karena karyanya menyentuh urusan hidup dan mati, deteksi dini stroke iskemik akut, penyebab utama kecacatan dan kematian di dunia.
Dalam acara tersebut, Andi berbicara dalam bahasa global, deep learning, transfer learning, dan convolutional neural network.
Bersama timnya, Dr Andi memaparkan sistem kecerdasan buatan yang mampu membaca hasil Magnetic Resonance Imaging (MRI) otak pasien.
Kemudian, membedakan apakah gambar tersebut menunjukkan tanda-tanda stroke iskemik atau tidak, dalam hitungan detik, dengan tingkat ketepatan mencapai 96,5 persen.
”Bagi awam, angka itu mungkin terdengar abstrak. Tapi bagi para dokter di ruang gawat darurat, 96,5% berarti dari 100 pasien yang datang dengan gejala mencurigakan, hanya 3-4 kasus yang berisiko terlewat angka yang sangat kecil dalam dunia kedokteran gawat darurat, di mana setiap menit keterlambatan bisa berarti kehilangan dua juta sel otak,” kata Andi.
Sistem itu, katanya, tak lahir dari udara kosong. Sistem itu dibangun di atas 2.400 gambar MRI otak, separuh dari pasien stroke, separuh dari orang sehat, yang dikumpulkan dari sejumlah rumah sakit di Indonesia.
Citra itu kemudian ”diberi pelajaran” kepada model AI bernama arsitektur VGG16 jaringan saraf tiruan yang awalnya dilatih mengenali jutaan objek umum seperti mobil, anjing, dan gedung lalu dilatih ulang secara khusus untuk mengenali pola gelap, batas lesi, atau perubahan tekstur halus di jaringan otak yang hanya bisa dilihat oleh mata ahli.
”Yang membuat karya ini istimewa bukan hanya akurasinya melainkan kesederhanaannya,” tuturnya.
Tim Dr. Andi memanfaatkan teknik transfer learning: mengambil ”pengetahuan visual” yang sudah dimiliki AI dari dunia luar, lalu mengadaptasinya ke dunia medis.
Hasilnya, lanjutnya, model VGG-16 mencapai performa puncak hanya dalam 50 epoch pelatihan, stabil tanpa gejala overfitting yakni saat AI terlalu hafal data latih dan gagal mengenali kasus baru.
Bahkan di antara empat arsitektur AI ternama yang diuji (VGG-16, VGG-19, ResNet50, dan InceptionV3), VGG-16 unggul bukan karena paling rumit, tapi karena paling konsisten lapis demi lapis filter 3×3 bekerja menangkap ciri-ciri visual dengan presisi tinggi, tanpa kehilangan fokus pada esensi diagnosis.
”Ini bukan tentang menggantikan radiolog. Ini tentang memberi mereka second pair of eyes mata kedua yang tak pernah lelah, tak pernah terburu-buru, dan selalu siap 24 jam,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, tentu, jalan masih panjang. Dataset yang digunakan berasal dari satu negara; belum mencakup variasi etnis, usia ekstrem, atau komorbiditas kompleks.
Model juga belum bisa membedakan jenis stroke apakah akibat gumpalan jantung, aterosklerosis, atau emboli lainnya.***(bgy)
