Permasalahan Ketimpangan Sosial, Ekonomi, Tata Ruang, dan Lingkungan di Indonesia
Oleh Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, M.T., Ketua Program Studi S2 Magister Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi) Fakultas Teknik Unissula Semarang.
SEMARANG, (Harianterkini.id) – Pembangunan wilayah dan kota di Indonesia menghadapi tantangan kompleks yang saling berkaitan, khususnya dalam ketimpangan sosial-ekonomi, tata ruang, dan lingkungan.
Selain keterbatasan infrastruktur dan layanan, isu kemiskinan, tingkat pengangguran serta ketidakberadaan dokumen kependudukan sosial seperti Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dan pendaftaran dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) memperparah kondisi ekonomi dan sosial masyarakat, terutama di wilayah perkotaan dan pedesaan.
Hal tersebut dikatakan oleh Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, M.T. selaku Ketua Program Studi S2 Magister Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi) Fakultas Teknik Unissula Semarang, belum lama ini.
Menurutnya, ada beberapa permasalahan antara lain, pertama, ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan wilayah.
“Indonesia sebagai negara kepulauan dengan heterogenitas geografis berhadapan dengan ketimpangan pembangunan yang nyata antara wilayah barat dan timur, Jawa dan luar Jawa, serta kota dan desa,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2024, lanjut dia, tingkat kemiskinan nasional berada pada angka sekitar 9,74% (sekitar 26 juta orang) dengan distribusi yang lebih tinggi pada wilayah timur Indonesia dan pedesaan (BPS, 2024).
“Wilayah Jawa dan kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung memiliki tingkat kemiskinan lebih rendah, namun urbanisasi besar-besaran memicu munculnya kemiskinan perkotaan dalam bentuk permukiman kumuh,” kata Ridlo yang juga Sekretaris I Bidang Penataan Kota, Pemberdayaan Masyarakat Urban, Pengembangan Potensi Daerah, dan Pemanfaatan SDA, ICMI Orwil Jawa Tengah.
Lanjut dia, permasalahan utama adalah keterbatasan akses pelayanan dan infrastruktur di daerah tertinggal yang menimbulkan siklus kemiskinan berkepanjangan.
Kondisi tersebut juga meningkatkan ketimpangan pendapatan dan kesempatan kerja, yang berdampak pada migrasi masif ke pusat-pusat kota.
Kedua, urbanisasi dan kemiskinan perkotaan. Menurut data BPS 2024, tingkat pengangguran terbuka nasional mencapai sekitar 7,3 juta orang, dimana sebagian besar konsentrasi pengangguran terdapat dalam wilayah perkotaan.
“Migrasi dari desa ke kota tanpa keterampilan kerja yang memadai memperbesar sektor informal dan kemiskinan urban,” jelasnya.
“Pengelolaan urbanisasi yang masih kurang terstruktur menyebabkan banyak warga perkotaan tidak terdaftar dalam DTKS, sehingga tidak dapat mengakses bantuan sosial dan fasilitas dasar,” imbuhnya.
Data dari Kementerian Sosial (Kemensos) per 2024 mencatat bahwa sekitar 15-20% penduduk di permukiman kumuh belum memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dan belum terdata di DTKS, sehingga tidak mendapatkan bantuan sosial yang layak (Kemensos, 2024).
Ketidakberadaan dokumen ini meningkatkan kerentanan sosial-ekonomi mereka dan membatasi akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan subsidi program pemerintah.
“Ketiga, Masalah Tata Ruang dan Pemanfaatan Lahan. Permasalahan tata ruang masih menjadi kendala serius dalam pembangunan wilayah dan kota di Indonesia,” ungkapnya.
“Banyak pelanggaran tata ruang yang tidak ditindak tegas, sehingga sebagian besar kota besar menghadapi masalah urban sprawl, kemacetan, banjir, dan kerusakan lingkungan,” lanjut dia.
“Lahan pertanian subur di pinggiran kota semakin berkurang akibat alih fungsi lahan tanpa rencana yang optimal,” paparnya.
Menurut Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN, 2023), kata Ridlo, sekitar 12% dari lahan produktif di daerah peri-urban mengalami alih fungsi menjadi kawasan permukiman atau komersial tanpa perencanaan yang tepat.
Hal ini memperburuk ketimpangan antar wilayah serta memperlemah ketahanan pangan lokal.
“Keempat, Krisis Lingkungan dan Sumber Daya Alam. Eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan demi pembangunan jangka pendek telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan meningkatkan risiko bencana,” ucapnya.
“Pembangunan wilayah sering mengabaikan aspek keberlanjutan sehingga terjadi deforestasi, pencemaran air, dan degradasi tanah,” imbuhnya.
Contohnya di wilayah Kalimantan dan Papua, pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan telah mengurangi tutupan hutan sekitar 10% antara 2018-2023 (WRI Indonesia, 2024).
Kerusakan ekosistem ini menimbulkan kerentanan untuk bencana alam seperti banjir dan longsor yang dampaknya paling dirasakan oleh masyarakat miskin dan rentan.
Kelima, ketidakberdayaan tata kelola dan perencanaan pembangunan. Kualitas tata kelola dan perencanaan yang kurang optimal menjadi penghambat besar.
“Kurangnya data valid membuat pembuat kebijakan sulit menetapkan intervensi yang tepat sasaran,” ujarnya.
Intervensi politik yang cenderung mengutamakan kepentingan tertentu juga mengganggu konsistensi dan keberlanjutan program pembangunan.
Selain itu, ketidakterdataan penduduk miskin dan tidak memiliki SKTM memperlemah target program bantuan sosial.
Menurut laporan Kementerian Sosial tahun 2024, diperkirakan sekitar 3 juta penduduk miskin belum terdaftar di DTKS, terutama di daerah pedesaan dan pemukiman kumuh perkotaan.
Ini menyebabkan program perlindungan sosial belum menyentuh seluruh warga yang membutuhkan.
Keenam, implikasi data kemiskinan, pengangguran, dan ketidakterdataan. Kemiskinan, berdasarkan BPS, persentase penduduk miskin di pedesaan lebih tinggi (sekitar 12%) dibanding perkotaan (sekitar 7%) pada 2024.
“Dua faktor utama penghambat penurunan kemiskinan adalah kurangnya akses layanan sosial dan ketidakberdayaan ekonomi masyarakat miskin,” kata Ridlo yang juga menjabat sebagai Sekretaris Umum Satupena Jawa Tengah itu.
Kesimpulan
Pembangunan wilayah dan kota di Indonesia menghadapi tantangan seperti ketimpangan sosial-ekonomi, tata ruang, dan lingkungan.
Kemiskinan, pengangguran, serta ketidakterdataan sosial memperparah kondisi masyarakat, terutama di perkotaan dan pedesaan.
Masalah tata kelola, urbanisasi, dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan memperburuk ketahanan sosial dan lingkungan, menghambat pembangunan yang merata dan inklusif.***(bgy)
