Syawalan dan Bakda Kupat: Perayaan Kemenangan Kita

Oleh : Ketua Departemen Susastra, FIB UNDIP, Dr. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum.

SEMARANG – Pasca keramaian perayaan Idul Fitri yang bisa kita saksikan di berbagai wilayah di Indonesia, akhirnya tibalah awal bulan Syawal yang seringkali dimaknai sebagai bulan penuh kemenangan.

Ada beragam jenis perayaan dan tradisi di berbagai daerah di Indonesia dalam rangka memperingati awal bulan kalender Hijriah yang biasa juga disebut sebagai tradisi Syawalan tersebut. Beragam jenis perayaan dan tradisi Syawalan biasanya diselenggarakan dengan menonjolkan kekhasan dan keunikan masing-masing daerah di daerah perayaan tersebut dilaksanakan.

Manusia disebut sebagai makhluk homo festivus atau makhuk yang senang mengkreasi berbagai festival atau perayaan. Satu di antaranya adalah festival yang bernuansa kegamaan, seperti perayaan tradisi Syawalan yang dilaksanakan beberapa hari setelah hari Lebaran, di beberapa tempat di Jawa biasanya dilaksanakan pada hari ke delapan atau di undur hingga akhir pekan pada bulan Syawal. Pada hari tersebut, masyarakat secara bersama-sama akan merasa perlu merayakan tradisi Syawalan.

Bakda Kupat

Satu pekan setelah merayakan hari Lebaran (Idul Fitri), masyarakat di beberapa daerah akan mengadakan perayaan kembali, yaitu tradisi Syawalan yang biasa disebut bakda kupat (lebaran ketupat). Di sebut Syawalan karena pelaksanaannya pada bulan syawal dan diadakan setelah hari Lebaran Sebagian masyarakat juga menyebutnya dengan bakda kupat karena sudah lazim kebanyakan orang saat itu banyak membuat kupat (ketupat).

Baca Juga:  Isu Kejaksaan Superbody merupakan Upaya Serangan Balik dari Koruptor

Dalam perayaan tersebut secara sederhana di berbagai daerah adalah diadakannya doa bersama, selanjutnya para warga mengadakan tukar-menukar ketupat yang dibawanya. Di beberapa daerah, para warga mengadakan acara berebut ketupat untuk memeriahkan perayaan. Di beberapa daerah, makanan lain yang juga ada selain ketupat adalah lepet, apem, dan buah-buahan.

Tradisi bakda kupat konon merupakan salah satu perayaan setelah hari Lebaran yang sudah ada sejak lama, yaitu pada era Kesultanan Demak awal abad kelima belas. Kupat yang bentuknya persegi empat dalam masyarakat Jawa juga seringkali dimaknai kiblat papat lima pancer, sebagai nasihat keseimbangan alam terkait empat arah mata angin yang bertumpu pada satu pusat.

Bagi masyarakat Jawa, kupat konon diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga. Dalam perkembangannya, kupat ini menyebar ke berbagai wilayah di Nusantara sebagai hidangan utama saat hari Lebaran. Pengaruh Wali Songo dan murid-muridnya dalam penyebaran agama Islam masa itu konon membuat makanan khas hari Lebaran tersebut tersebar ke berbagai daerah di Nusantara.

Baca Juga:  Ada Agenda Pembunuhan Karakter ST Burhanuddin Secara Masif

Oleh masyarakat Jawa, kupat juga seringkali dikaitkan dengan akronim laku papat yang berarti empat tindakan, yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Lebaran berarti usai, yaitu menjadi penanda selesainya waktu menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh.

Luberan berarti melimpah, yaitu ajaran untuk berbagi kebahagiaan dan rezeki kepada Sebagian masyarakat yang masih kekurangan dan memiliki hak menerimanya. Leburan yang berarti melebur dan menghilangkan dosa atas segala kesalahan dengan saling memberikan maaf. Dan laburan yang berarti kapur yang berwarna putih bersih yang melambangkan kita kembali kepada kesucian.

Tradisi bakda kupat terkandung filosofis yang diwariskan selama masa penyebaran Islam di Nusantara, khususnya Pulau Jawa. Dengan demikian, mengingat betapa akrabnya masyarakat muslim nusantara kepada tradisi ini, maka penting pula untuk melestarikan kearifan lokal ini, agar generasi mendatang masih dapat merasakannya.

Bentuk melestarikannya adalah dengan tetap melanjutkan tradisi baik di masa sekarang serta menurunkan nilai-nilai filosofis tradisi kupatan kepada masyarakat generasi berikunya sebagai bagian dari kearifan sosial (local wisdom).

Baca Juga:  Potret Sengketa Pilpres 2024, Dua Kubu Lawan Satu Siapa Menang?

Pesta Lomban di Pantai Jepara

Tradisi Syawalan atau bakda kupat di wilayah sekitar pantai Jepara hingga Rembang lebih dikenal dengan Pesta Lomban. Pesta Lomban adalah pesta masyarakat nelayan di wilayah tersebut yang pada awalnya terkait dengan sedekah laut. Istilah Lomban oleh sebagian masyarakat Jepara disebutkan berasal dari kata lelumban atau masyarakat nelayan masa itu bersenang-senang di laut. Dalam perayaan tersebut, mereka mempersiapkan berbagai peralatan untuk keperluan perayaan yang bentuknya seperti perang-perangan di lautan. Peralatan bisa berupa berbagai macam minuman dan makanan, khususnya ketupat.

Dalam pesta lomban terkandung beberapa nilai pendididkan dan nasihat yang bisa kita petik. Di antaranya, pentingnya menjaga silaturahmi, sikap kekeluargaan, perlunya gotong-royong, perlunya rekreasi, dan pentingnya menjaga keseimbangan kehidupan dengan alam.

Tradisi Syawalan atau bakda kupat yang diwariskan sejak masa penyebaran Islam di Nusantara, khususnya Pulau Jawa, yang masih dipertahankan oleh masyarakat hingga sekarang ternyata memberikan pesan dan nasihat yang bijak kepada kita. Kita memiliki tanggung jawab untuk melestarikan dan melanjutkan tradisi baik ini sebagai bagian dari kearifan lokal (local wisdom).

About Author