Kiai Shodiq Malu Dengan Fatwa MUI Yang Tidak Adil Dan Bisa Memecah Belah Umat
SEMARANG, (Harianterkini.id) – Pengasuh Pondok Pesantren Asshodiqiyah Semarang, Kiai Shodiq Hamzah Usmas, malu dengan munculnya fatwa MUI yang melarang masyarakat memilih calon pemimpin yang tidak seiman.
Hal itu di ungkapkannya saat diwawancarai wartwan di kediamannya soal munculnya fatwa MUI yang melarang seseorang yang berstatus non muslim menjadi pemimpin, Minggu, 24 November 2024.
“Kalau kita sebagai umat Islam ya malu, tapi, lebih malu kalau pemimpin muslim dalam rangka menjadi pemimpin orangnya amburadul dan korupsi, kan lebih malu lagi, daripada pemimpin yang non muslim,” kata Kiai Shodiq Hamzah.
Kiai Shodiq Hamzah, terkait permasalahan tersebut, lantas merespon fatwa MUI Jateng merujuk pada tausiyah kebangsaan MUI tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 Nomor ; Kep-74/DP-MUI/XI/2024 yang terbit pada hari Sabtu 23 November 2024 itu.
“Jika pemimpin muslim korupsi sedangkan yang non muslim tidak korup, serta bisa mengurus negara, kita akan memilih yang mana, jelas harus memilih yang baik, dan tidak korup,” ujarnya.
“Pemimpin muslim amburadul dan korupsinya besar, tapi non muslim bisa menata negara, kemaslahatan ada, ora tau korupsi, nah kamu pilih yang mana?,” imbuhnya.
Terkait dengan hal tersebut, Kiai Shodiq meminta masyarakat bisa membedakan mana urusan agama dan mana yang bukan.
Dia mencontohkan Gus Dur yang pernah meramalkan Ahok bakal menjadi Gubernur DKI, Namun kalah dengan Anies saat Pilkada digelar karena munculnya isu agama.
“Jadi di sini tidak bisa membedakan antara agama dan tidak. Gus Dur kan mencalonkan Ahok, Ahok kalah gara-gara Anies menyinggung tentang agama, tentang surat Almaidah ayat 51,” ungkapnya.
Kiai Shodiq menegaskan bahwa negara Indonesia itu berasas Pancasila, sehingga tidak boleh ada fatwa atau opini keagamaan dalam pemilihan seorang pemimpin pemerintahan.
“Nah berhubung kita negara pancasila, maka harus dibedakan antara agama dan tidak. Jadi orang Islam mau gak milih silahkan, tapi jangan membuat fatwa yang mengharam-haramkan. Indonesia bukan negara agama, tapi negara Pancasila,” bebernya.
Kiai Shodiq menyayangkan sikap MUI yang menurutnya sudah seperti partai politik dengan menggunakan komisi fatwanya.
“MUI itu melampaui kewenangannya, malah terkesan berperan sebagai partai politik. Jadi jangan bangga kalau hanya sekedar komisi fatwa,” tuturnya.
Kiai Shodiq memberikan tanda tanya besar kenapa fatwa ini dikeluarkan menjelang coblosan. Menurutnya fatwa ini tidak adil, karena membuat hukum seharusnya berdasarkan kemaslahatan.
“Jadi status haram, halal, wajib, dan lain sebagainya itu berdasarkan prinsip kemaslahatan. Nah maslahat gak MUI membuat fatwa seperti itu? kan malah bisa memecah belah umat dan tendensius ke salah satu pihak,” tandasnya.
“Nah MUI kan selama ini kalau membuat fatwa kan mengikat kan pak. Beda dengan NU. Jadi seolah-olah malah kayak jadi hukum agama, kalau dikerjakan dapat pahala kalau ditinggalkan dapat dosa,” lanjutnya.
Yang perlu dipahami, menurut Kiai Shodiq, Pilkada adalah pilihan, tugas umat adalah memilih.
“Nanti kalaupun yang terpilih perempuan, dia kan menentukan kebijakan bersama-sama dengan wakil rakyat. Jadi tidak perlu khawatir,” tegasnya.
Kiai Shodiq kemudian mengajak umat untuk menolak fatwa MUI tersebut karena tidak ada kemaslahatan yang dibawa untuk masyarakat.
“Jadi kita harus menolak fatwa MUI yang seperti itu karena tidak ada kemaslahatan. Masyarakat dihimbau jangan terpaku dengan fatwa itu karena kita hidup di negara pancasila,” tutupnya.***