Gugatan Wanprestasi Budiarto Terhadap PT MAP: Pembayaran Tanah Tertunda, Sertifikat Dipecah

SEMARANG (Harianterkini.id) – PT Mutiara Arteri Property (PT. MAP) diketahui belum membayar secara lunas kepada pemilik tanah atas objek tanah yang dijadikan Perumahan Mutiara Arteri Regency di Jalan Gajah Raya, Kota Semarang.
Hal itu disampaikan saksi a de charge, Budiarto Siswojo, selaku pemilik tanah dalam sidang yang menjerat Notaris Demak, Yustiana Servanda SH, MKn, terkait perkara dugaan pemalsuan akta nomor 13 dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT MAP), di Pengadilan Negeri Semarang, Kamis (6/2/2025).
“Karena pembelian tanah belum lunas dilakukan PT. MAP. Sampai sekarang dr. Setiawan dan Siswa Sandjaja Chandra (Direktur dan Komisari PT MAP), belum merealisasikan pembayaran, sebagian memang sudah tapi sebagian besar belum, jadi pembayaran belum lunas,”kata Budiarto Siswojo, dihadapan majelis hakim yang dipimpin, Novrida Diansari.
Seingat saksi, pembayaran baru dilakukan 2 kali. Pembayaran pertama pada 17 Desember 2021 sebesar Rp 25 Milyar, dikurangi biaya pengosongan yang sudah diberikannya sebesar Rp 15 Milyar, sehingga bayar sebesar Rp 10 Milyar. Kemudian tahap kedua 17 Desember 2022 sebesar Rp 25 Milyar. Namun pembayaran ketiga, empat, dan kelima belum dibayarkan hingga sekarang.
Saksi Budiarto, juga mengaku sudah pernah memberikan biaya pengosongan Rp 15 milyar, menghidupkan sertifikat Rp 1 milyar, dana taktis, termasuk Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) waris Rp 1,5 Milyar. Selain itu, menyerahkan 3.000 m2 tanah untuk pengurusan pengosongan karaoke liar. Serta 50 persen saham perusahaan, yang akan membangun perumahan di atas tanah milik saksi.
“PT MAP, dr Setiawan dan Chandra (Siswa Sandjaja Chandra) tidak mau bayar cicilan saya yang ke 3,4,5, saya tidak tahu alasannya, padahal itu kewajiban mereka,”sebutnya.
Atas perbuatan itu, saksi juga mengaku, mengajukan gugatan inkar janji atau wanprestasi diwakili kuasa hukumnya, Evarisan dan Joko Susanto. Dalam gugatan itu, dijelaskannya, sudah menang hingga Mahakamah Agung. Namun menyikapi putusan itu, belum juga dilaksanakan oleh pihak tergugat atau PT MAP yang diwakili dr Setiawan dan Siswa Sanjaja Chandra. Seingat saksi, inti gugatan itu sertifikat-sertifikat yang sudah dipecah sesuai perjanjian jual beli untuk dititipkan ke notaris Dewi Kusuma.
“Putusan perdata itu intinya sertifikat diserahkan ke bu Dewi, akibat pembayaran terlambat. Karena belum lunas. Asli induknya sertifikatnya adalah SHM no. 474. Sekarang sudah berganti, dan sudah di splitsing, berganti nama jadi HGB atasnama PT MAP, sertifikat itu dipecah-pecah lagi jadi banyak,”kata saksi Budiarto, saat dicecar penuntut umum Kejati Jateng.
Ditegaskannya, tanah itu di peroleh saksi dari warisan orangtuanya. Saksi juga mengaku sekalipun belum dibayar lunas PT MAP, namun sertifikat sudah disepakti bisa dibalik nama, hanya saja sebelum lunas sertifikat dititipkan ke notaris Dewi Kusuma. Saksi juga menyebutkan, sebelum adanya akta nomor 13, pemilik saham mayoritas PT MAP adalah dr. Setiawan sebanyak 99 persen, dan 1 lembar saham milik Siswa Sanjaja Chandra. Namun karena sejak awal dr Setiawan ingin tanah yang dimilikinya, sedangkan ia tidak kenal secara langsung, maka dari itu, ia masih ragu-ragu dengan dr. Setiawan.
“Saya bisa yakin setelah ada Christy (Elisabeth Christy), karena saya kenal dia dan bu Dewi (Dewi Kusuma), jadi saya percaya dan lebih yakin. Makanya saya melakukan pelepasan, karena komposisi pemilik saham sudah berubah ke Christy (Elisabeth Christy) dan Michael (Michael Setiawan),”tandasnya.
Saksi mengaku percaya, setelah masuk 50 persen saham ke Elisabet Christy dan 50 persen ke Michael Setiawan. Disitulah, saksi mulai bersedia melakukan proses balik nama sertifikat menjadi HGB ke atasnama PT MAP. Saksi juga keberatan kalau komposisi saham kembali ke dr. Setiawan dan Siswa Sanjaja Chandra, karena sama saja ia merasa tertipu karena berubah ke awal. Termasuk kalau sampai dibatalkan akta nomor 13 ia mengaku sangat dirugikan. Hal itu karena pembayaran tanah belum lunas ke dirinya.
“Kalau proses RUPS LB saya tidak tahu, waktu itu saya hanya keberatan kalau tanah itu dibeli dr. Setiawan, karena pemegang saham 99 persen di PT. MAP. Setelah ada Christy baru saya percaya. Dulu juga pernah pas proses mediasi gugatan, akan dibayarkan seluruhnya kekurangan pembelian tanah, tapi syaratnya saya diminta batalkan akta nomor 13. Padahal saya bukan yang membuat akta itu, jadi saya juga bingung dan aneh,”sebut saksi saat dicecar, kuasa hukum terdakwa.
Saksi mengaku, mengetahui perubahan akta itu dari orang kepercayaanya Dewi Kusuma. Terkait akta pelepasan, penegasan, adendum, komunikasi pembuatannya diakui saksi juga melalui Dewi Kusuma. Sama halnya pernah komunikasi beberapa kali dengan dr Setiawan disambungkan melalui telepon milik Dewi Kusuma.
“Pertama kali, Chandra (Siswa Sanjaja Chandra) yang mengenalkan dr Setiawan ke saya. Waktu itu, saat saya mau ada pertemuan dengan bu Dewi (Dewi Kusuma), kemudian Chandra datang yang mengenalkan. Selanjutnya saya bertemu dr Setiawan saat sidang wanprestasi. Dengan Chandra pernah bertemu, tidak sering dan saya tidak akrab, dia kenalan orangtua saya,”jelasnya.
Menanggapi kesaksian itu, kuasa hukum Yustiana Servanda, Evarisan, mengatakan RUPS LB memang diinginkan oleh dr. Setiawan dan Siswa Sanjaja Chandra. Karena Budiarto Siswojo baru bersedia melepaskan tanahnya kalau komposisi sahamnya berubah 50 persen Michael Setiawan dan 50 persen Elisabet Christy. Hal itu terbukti surat kuasa penglepasan dibuat setelah Budiarto Siswojo memperoleh informasi adanya perubahan saham.
“Jadi begitu Setiawan dan Siswa Sanjaja Chandra membuat RUPS, dimana keduanya hadir bersama-sama 100 persen pemegang saham, sehingga berubahlah pemegang saham itu. Karena kalau Elisabeth Christy tidak masuk dalam pemegang saham, dia (Budiharto) tidak percaya, kan bisa dilihat bagaimana tanah bisa dibalik nama tapi belum lunas, kalau tidak ada orang yang dipercaya,”kata Evarisan.