Seorang Sastrawan Indonesia, Nh. Dini Bisa Jadi Tokoh Inspiratif bagi Penulis Muda

SEMARANG, (Harianterkini.id) – Nh. Dini merupakan tokoh inspiratif bagi para penulis muda. Bukan hanya di Semarang, namun juga di seluruh Indonesia. Produktivitas dan kreativitasnya sebagai sastrawan sangat mengagumkan. Dini terus menulis atau berkarya sampai akhir hayatnya. Hal itu tentu saja patut dicontoh atau diteladani oleh kita.
Hal itu dikemukakan oleh Ketua Umum Satupena Jawa Tengah, Gunoto Saparie dalam kegiatan “Mengenang Nh. Dini Sastra Perempuan dari Semarang” di Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah, Jalan Sriwijaya, Kota Semarang, belum lama ini.
Kegiatan ini diselenggarakan atas kerja sama Satupena Jawa Tengah dan Bengkel Sastra Taman Maluku Semarang. Tampil sebagai narasumber sastrawan Triyanto Triwikromo.
Kegiatan dibuka oleh Kepala Bidang Pengelolaan Perpustakaan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah Ir. Listyati Purnama Rusdiana, M.Si.
Gunoto Saparie yang menyampaikan sambutan tertulis Ketua Umum Satupena Pusat Denny J.A. mengatakan, ada tiga pelajaran dari Dini, yaitu perempuan adalah nakhoda hidupnya sendiri.
Dini menulis tentang perempuan yang berani memilih jalannya sendiri. Dalam novel Pada Sebuah Kapal, Sri bukan sekadar istri yang diam mengikuti arus. Ia gelisah, bertanya, menolak hidup yang hanya menjadi bayangan lelaki.
Selain itu, Gunoto mengutip Denny, dari Dini kita juga belajar bahwa menjadi perempuan tidak berarti harus memilih antara cinta dan kebebasan. Dini membisikkan sesuatu yang lebih tajam ‘mengapa perempuan harus memilih? Kebebasan bukanlah lawan dari cinta’.
Seorang perempuan bisa mencintai tanpa kehilangan dirinya sendiri. Ia bisa memiliki pasangan tanpa menyerahkan seluruh hidupnya. Dunia ingin membuatnya percaya bahwa ia hanya boleh memiliki satu. Tetapi Dini menulis perempuan yang menolak tunduk pada pilihan sempit itu.
“Dini juga memberikan hikmah bahwa menulis adalah jalan menuju keabadian. Dini lahir di Semarang, wafat di sana, dan tetap hidup dalam kata-kata yang ia tinggalkan,” kata Gunoto.
“Ia tahu bahwa dunia sering kali membungkam perempuan, tetapi tulisan adalah suara yang tak bisa dipadamkan. Setiap novel yang ia tulis, setiap kisah yang ia lahirkan, adalah pemberontakan halus melawan dunia yang ingin perempuan tetap diam,” imbuhnya.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Suara Merdeka Triyanto Triwikromo yang menjadi narasumber dalam kegiatan itu mengatakan, pada mulanya Dini bukanlah penulis.
“Dia tak langsung jadi penulis. Bahkan pekerjaan yang paling melekat dengan Dini, yakni sebagai pramugari, tidak berhubungan dengan dunia tulis-menulis,” jelasnya.
Untuk itu, Dini harus memanggil sesuatu yang oleh penyair Octavio Paz sebagai the other voice (suara lain). Tanpa memanggil suara lain (katakanlah suara kapujanggan atau suara sastra) mustahil Dini menjadi penulis besar yang antara lain memenangi SEA Write Award.
Menurut Triyanto yang juga sastrawan terkemuka di Semarang itu, upaya Dini memanggil dan menumbuhkan suara lain di dalam diri, serta menggabungkan pemahaman akan cerita, seni pertunjukan, arsitektur tak sia-sia.
“Dia tumpahkan apa pun yang telah mengendap di dalam diri ke dalam cerita,” tuturnya.
“Dia hasilkan Sebuah Lorong di Kotaku, Sekayu, Padang Ilalang di Belakang Rumah, atau Langit dan Bumi Sahabat Kami. Ini hal-hal terdekat dalam dirinya. Dini juga menulis yang cukup jauh, antara lain Namaku Hiroko atau Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang serta dari Parangakik ke Kampuchea,” ungkapnya.
Triyanto juga menunjukkan, ada satu lagi yang sangat penting dalam riwayat atau sejarah kepenulisan Dini. Hal penting itu bernama Semarang.
Dini dan Semarang adalah dua dunia yang berimpit. Dua dunia yang jalin menjalin. Dua dunia yang saling merasuki. Mustahil meniadakan Semarang dalam kepengarangan Dini.
Dini bagian dari Semarang. Semarang bagian dari Dini. Dalam Sebuah Lorong di Kotaku Dini bilang, “Di sana semuanya kusukai: benda, Binatang, manusia. Yang semula tidak kukenal, mulai kuketahui dan kumengerti, hingga sesudah beberapa hari menjadi kawan karib sebagai bagian hidupku.”***(bgy).