SJI di Semarang, Amir Sebut Wartawan Harus Jadi Faktor Pembeda demi Keunggulan Berita

SEMARANG (Harianterkini.id) – Spirit menghadirkan faktor pembeda hendaknya dimiliki seorang wartawan ketika terjun meliput realitas di lapangan. Hanya dengan faktor pembeda inilah, keunggulan sebuah berita akan terlihat.

Hal itu disampaikan Ketua PWI Jawa Tengah Amir Machmud NS saat mengajar di Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) yang digelar PWI Pusat bersama Kemendikbudristek di hotel New Puri Garden Semarang, Rabu 26 Juni 2024. Materi ajar yang disampaikan Amir bertajuk ”Mencari dan Mengembangkan Berita’’ dan dipandu wartawan senior Widiyartono R.

Menurut Amir, faktor pembeda akan muncul jika wartawan melakukan kreativitas misalnya dengan melakukan riset. Kreativitas dan produktivitas wartawan sendiri, kata dia, selalu diujikan dalam UKW bagaimana wartawan memilih topik dan menentukan angle atau sudut pandang.

Dia lalu mencontohkan berita Euro 2024, wartawan akan diuji sejauh mana kemampuannya membuat angle. Beberapa angle yang menarik dari perhelatan Piala Eropa, kata Amir, diantaranya Cristiano Ronaldo sebagai pemain pertama di dunia yang tampil enam kali di ajang ini, atau alasan mengapa Pelatih Timnas Portugal Roberto Martinez masih mempercayakannya sebagai striker utama.

Baca Juga:  Pemkot Semarang Akan Gelar Sholat Idul Fitri dan Open House di Balaikota

‘’Pembeda harus hadir ketika kita membuat membuat berita atas realitas dari berbagai sudut pandang,’’ kata kolumnis sepakbola di media online Suarabaru.id ini.

Dalam kesempatan itu, Amir juga membedah terkait disiplin verifikasi yang harus didilakukan wartawan dalam pencarian dan mengembangkan berita. Menurut Amir, tujuan berita dibuat untuk mendapatkan kepercayaan publik.

‘’Agar sebuah berita bisa dipercaya berita harus bisa dipertanggungjawabkan atau akuntabel. Berita yang akuntabel telah melewati disiplin verifikasi. Di sinilah kita akan mengenal cover both side, tabayyun (klarifikasi) serta check and richeck sebagai bagian dari proses verifikasi,’’ kata dosen jurnalistik di sejumlah perguruan tinggi itu.

Dia mengatakan, disiplin verifikasi itu sangat penting ketika wartawan menghadapi fakta di lapangan dan ingin mengembangkan berita. Jika ingin mengembangkan berita, langkah yang bisa ditempuh tentu menggali informasi dari otoritas yang terkait. Misalnya, ketika ada peristiwa kecelakaan lalu lintas tentu ada otoritas yang bisa ditemui seperti polisi, saksi, atapun pihak yang menyaksikan kejadian.

Baca Juga:  MPP Pekanbaru Terbakar? Wali Kota Muflihun: Hancur Hati Ini

Gunakan Nurani

Salah satu tantangan terbesar wartawan di lapangan, adalah bagaimana menyikapi sebuah realitas yang ingin dijadikan berita. Alasannya, realitas bisa diartikan sebagai kejadian sesungguhnya dan realitas yang menjadi second hand karena adanya intervensi atau pengaruh, baik itu intervensi internal (pengambil kebijakan di redaksi dan pemodal perusahaan pers) maupun eksternal (penguasa, parpol, ormas).

‘’Ketika dihadapkan situasi seperti ini, maka nurani wartawan yang akan berbicara saat melakukan peliputan. Kita akan memilih apakah akan bertanggung jawab atau tidak bertanggung jawab, etis dan tidak etis. Ini kembali ke nurani wartawan,’’ tandasnya.

Selain Amir, pengajar lainnya yang mengisi SJI adalah Kabid Pendidikan dan Pelatihan PWI Pusat Mohammad Nasir yang mendidik agar peserta berpikir kritis. Dia mengutip filsuf Descartes yaitu “Cogito Ergo Sum” yang memiliki arti “Aku Berpikir Maka Aku Ada”.

Baca Juga:  Harmoni Ragam Budaya di Pasar Senggol Grand Candi Hotel Semarang

‘’Setiap wartawan perlu mengasah rasa ingin tahu di balik sebuah peristiwa, misalnya kalimat ‘apakah benar?’’’ ujarnya.

Wartawan senior yang juga mantan ketua PWI Jateng itu mengupas tentang integritas wartawan. Pengajar terakhir di hari kedua SJI adalah Imam Jahrudin Priyanto yang mengajarkan Bahasa Indonesia dalam Jurnalistik. Menurutnya saat ini media bertebaran akronim-akronim. Sebaiknya kata dia, wartawan harus menghindari akronim yang kini cenderung jadi ‘’penyakit’’.

‘’Ada akronim migor, itu kan membingungkan karena artinya mi goreng, bisa minyak goreng. Akronim itu sebanyak menghindari yang kurang efonis (enak didengar), seperti disnakercaspduk. Lebih baik yang efonis saja seperti batagor, bandara, combro, humas, atau Jateng,’’ katanya. **

About Author