UNDIP Akhirnya Mengakui Praktik Perundungan di Program Pendidikan Dokter Spesialis RSUP dr Kariadi Semarang
SEMARANG (Harianterkini.id) – Universitas Diponegoro (Undip) akhirnya mengakui adanya praktik perundungan terhadap dokter yang mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Kariadi Semarang.
Pengakuan ini datang setelah sebelumnya pihak Undip membantah adanya permasalahan tersebut, memicu sorotan luas terhadap integritas dan etika dalam lingkungan pendidikan kedokteran di Indonesia.
Dalam konferensi pers di Fakultas Kedokteran (FK) Undip, Dekan FK Undip, Yan Wisnu Prajoko, mengungkapkan bahwa perundungan terjadi dalam berbagai bentuk, derajat, dan aspek.
“Kami mengakui bahwa di dalam sistem pendidikan dokter spesialis internal kami, terjadi praktik-praktik atau kasus-kasus perundungan dalam berbagai bentuk, dalam berbagai derajat, dalam berbagai hal,” ujar Yan Wisnu Prajoko, Jumat (13/9).
Salah satu bentuk perundungan yang mengemuka adalah pungutan iuran yang mencapai Rp20-40 juta per semester pada program studi anestesi. Praktik ini mewajibkan mahasiswa baru PPDS Undip untuk membayar iuran yang digunakan untuk kebutuhan konsumsi selama 6 bulan.
“Di program studi anestesi, mahasiswa semester pertama diharuskan membayar iuran sebesar Rp20-40 juta untuk 6 bulan pertama. Dana ini digunakan untuk kebutuhan konsumsi bersama,” jelas Yan Wisnu.
Namun, iuran ini tidak hanya sebatas biaya makan. Uang tersebut juga digunakan untuk berbagai keperluan operasional lainnya, termasuk menyewa mobil dan membayar kos.
Yan Wisnu menjelaskan, dana tersebut juga digunakan untuk operasional lainnya, seperti menyewa mobil dan kos yang dekat dengan rumah sakit.
” Ini merupakan bagian dari operasional mereka selama menjalani PPDS.”
Perundungan ini menunjukkan adanya sistem yang tidak hanya membebani, tetapi juga menciptakan kesenjangan antara mahasiswa baru dan senior.
Di program studi anestesi, pungutan ini bahkan dianggap lebih besar daripada di program studi lain.
“Di tempat lain mungkin praktik serupa ada, tapi sebagian besar sudah mengikuti imbauan saya. Di anestesi, nominalnya cukup besar,” ungkap Yan Wisnu, menyoroti masalah yang tampaknya sudah mengakar.
Pengakuan ini menjadi bukti bahwa ada masalah mendasar dalam sistem pendidikan kedokteran spesialis di Undip.
Pungutan ini dianggap sebagai bentuk perundungan yang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun.
“Pungutan ini bukanlah hal yang benar untuk dilakukan, dengan alasan apa pun. Perundungan tidak selalu berupa penyiksaan fisik, tetapi juga bisa muncul dalam bentuk tekanan operasional dan finansial,” tegas Yan Wisnu.
Pernyataan ini menegaskan bahwa perundungan dapat terjadi dalam bentuk yang lebih halus, namun tetap memiliki dampak signifikan terhadap para korban.
Dekan FK Undip juga menyampaikan permohonan maaf yang tulus kepada masyarakat, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), serta Komisi IX DPR RI.
“Kami memohon maaf kepada masyarakat, terutama kepada Kementerian Kesehatan, kepada Kemendikbudristek, dan kepada Komisi IX (DPR RI), kami memohon maaf kalau masih ada kesalahan kami dalam menjalankan proses pendidikan, khususnya pendidikan kedokteran spesialis ini,” ujar Yan Wisnu.
Sebagai langkah lanjutan, Yan Wisnu meminta arahan dan dukungan dari para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan komponen masyarakat, untuk memperbaiki sistem pendidikan di PPDS Undip.
“Kami mohon dukungan dari pemerintah dan masyarakat, agar kami dapat melanjutkan proses pendidikan dokter spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, khususnya saat ini adalah program studi anestesi dan perawatan intensif. Kami ingin berperan serta memberikan sumbangsih kepada negara untuk segera memenuhi kebutuhan SDM dokter spesialis yang merata di seluruh nusantara,” tambahnya.
Pengakuan ini membuka peluang untuk perbaikan mendasar dalam sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia, khususnya di Undip.
Diperlukan langkah-langkah konkret dan pengawasan ketat untuk memastikan bahwa praktik perundungan semacam ini tidak lagi terjadi di masa mendatang.
Pengalaman ini menjadi pelajaran penting untuk menjaga integritas dan etika dalam pendidikan kedokteran, sekaligus melindungi hak-hak para dokter muda yang sedang menjalani pendidikan mereka.
Upaya perbaikan ini diharapkan akan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih sehat, adil, dan mendukung pengembangan profesionalisme para dokter spesialis masa depan.