Indonesia Police Watch Meminta Kapolri Sungguh-Sungguh untuk Menangani Kasus Dugaan Adanya Mafia Kepailitan

“Dok.Foto : Instagram Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso”
JAKARTA, (Harianterkini.id) – Ketua Indonesia Police watch (IPW), Sugeng Sugeng Teguh Santoso meminta perhatian sungguh-sungguh kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo serta Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri dan Ketua Mahkamah Agung RI Sunarto atas fenomena adanya mafia kepailitan yang melibatkan oknum kurator/pengurus (receiver) serta oknum Hakim Pengawas perkara PKPU yang secara sistemik.
Sugeng menjelaskan bahwa hal itu bisa merusak dunia usaha dan iklim usaha dengan permainan penyalahgunaan kewenangan dalam perkara kepailitan dengan cara mematikan suatu usaha masih dalam keadaan sehat dan solven menggunakan prosedur legal yang sesungguhnya adalah suatu upaya hostile take over.
“Indonesia Police Watch telah menerima pengaduan 2 (dua) pihak yang merasa dirugikan oleh mafia kepailitan yang melibatkan oknum-oknum kurator, pengurus dan hakim pengawas menggunakan modus pengajuan utang yang tidak benar untuk menguasai suara dalam voting Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),” kata Sugeng beberapa hari lalu.
“Lalu piutang palsu itu dituangkan dalam Daftar Piutang Tetap (DPT) agar tampak sah secara hukum,” imbuhnya.
Diketahui bahwa, IPW mendapatkan pengaduan dari Saudara Bintoro dan dari PT PILAR PUTRA MAHAKAM.
“Saudara Bintoro yang diputus pailit pada 3 Agustus 2023 berdasarkan Putusan PKPU No. : 254/Pdt.Sus – PKPU /2022/PN. Niaga.Jkt.Pst.,” ungkapnya.
“Dalam perkara itu, tim kurator Alfons Raditya Pohan, S.H., M.H., Kenny Hasibuan, S.H., dan Musdalifah, S.H. memasukkan tagihan sebesar Rp39,4 miliar dari PT Petro Energy (Dalam Pailit) ke dalam DPT,” paparnya.
Padahal, lanjut Sugeng, Bintoro menegaskan tidak pernah meminjam uang, tidak menandatangani perjanjian utang, dan tidak tercatat sebagai debitor dalam laporan keuangan PT Petro Energy.
“Namun, tagihan fiktif itu tetap diverifikasi dan dituangkan dalam DPT. Dengan begitu, PT Petro Energy memperoleh suara tambahan dalam voting PKPU yang menjatuhkan Bintoro ke dalam kondisi pailit,” kata Sugeng.
Sugeng juga menjelaskan bahwa jasus selanjutnya dialami PT Pilar Putra Mahakam (PPM).
Pada 6 Maret 2025, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan PPM harus membayar Rp10,58 miliar kepada dua kreditor. Meski pembayaran sudah dilakukan pada April 2025, hal itu diabaikan hingga PPM diputus pailit.
Ironisnya, setelah putusan pailit, pengurus yang sama ditunjuk sebagai kurator, yaitu Jhon Amalo Sipet dan Pranata Raharjie Putranto.
Diduga kurator kembali memasukkan utang fiktif yang sudah dibayar ke dalam DPT, sehingga piutang palsu itu terlihat sah.
Atas 2 pihak yang diduga dirugikan oleh oknum kurator tersebut IPW telah menyarankan dilaporkan pada polisi.
“Saat ini telah resmi dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Pelapor Kasus Bintoro tercatat dengan Nomor : LP/B/6353/IX/ SPKT Polda Metro Jaya, tertanggal 10 September 2025 dengan terlapor oknum kurator dkk,” Ucapnya.
“Sedangkan PT PIKAR PUTRA MAHAKAM telah melaporkan polisi teregister dengan Nomor : LP/B/6351/XI/SPKT/ Polda Metro Jaya, tertanggal 10 September 2025,” lanjut Sugeng menjelaskan.
Keduanya melaporkan dugaan tindak pidana Pasal 400 ayat (2) KUHP tentang tindak pidana kepailitan, serta Pasal 263 KUHP terkait penggunaan surat palsu, karena Daftar Piutang Tetap dipakai sebagai dokumen resmi padahal diduga DAFTAR PIUTANG TETAP tersebut memuat fakta yang tidak benar .
Bunyi Pasal 400 ayat (2) KUHP :
“Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan, barang siapa yang di waktu verifikasi piutang-piutang dalam hal pelepasan budel, kepailitan, atau penyelesaian, mengaku adanya piutang yang tak ada atau memperbesar jumlah piutang yang ada.”
Indonesia Police Watch mengungkap pola permainan mafia pailit yang hampir selalu sama :
1. Kreditor fiktif muncul membawa tagihan utang yang sebenarnya tidak pernah ada, dengan nilai besar agar bisa menjadi mayoritas.
2. Tagihan fiktif diverifikasi oleh pengurus/kurator dalam tahap verifikasi piutang. Jika lolos, kreditor palsu memperoleh hak suara dalam voting.
3. Voting dipakai untuk mempailitkan perusahaan, meski debitor sudah membayar atau sebenarnya tidak berutang.
4. Setelah perusahaan resmi pailit, pengurus yang sama biasanya ditunjuk kembali sebagai kurator. Di sinilah modus berlanjut: utang fiktif yang sudah dibantah atau bahkan sudah dibayar tetap dituangkan ke dalam Daftar Piutang Tetap (DPT).
Dokumen resmi pengadilan itu lalu dijadikan “pembenaran” seolah-olah piutang tersebut benar adanya.
Dengan cara ini, surat resmi pengadilan (Daftar Piutang Tetap) dapat dinilai sebagai surat palsu yang isinya tidak sesuai kebenarannya.
Penggelembungan utang ini menjadi instrumen baru mafia pailit. Dengan memanfaatkan celah voting PKPU, perusahaan yang sehat pun bisa ditumbangkan dengan cara rekayasa piutang.
“Ini bukan lagi sekadar sengketa utang-piutang, tapi modus sistematis untuk menjatuhkan perusahaan dan mengambil keuntungan dari kepailitan,” pungkasnya.
“Dampaknya serius, bukan hanya bagi debitor, tetapi juga terhadap iklim investasi di Indonesia karenanya Indonesia Police Watch meminta perhatian Kapolri dan Ketua Mahkamah Agung mencermati adanya mafia kepailitan yang bisa merugikan iklim usaha tersebut,” jelasnya.
“Indonesia Police Watch juga membuka kotak Pengaduan masyarakat atas mafia kepailitan dengan mengirimlan pengaduan pada email poskopengaduanmafiapailit@gmail.com dan nomor telp 082221344459,” tutupnya.***
Sumber Berita : Ketua Indonesia Police Watch, Sugeng Teguh santoso